Membentuk Bantul Sebagai Local Brand


Pada kesempatan yang lalu yaitu pada hari Rabu, 13 Mei 2020, saya mendapat kesempatan untuk mendengarkan salah satu orang kreatif yang tinggal di Bantul yaitu Yogie (@yogie_bartholomaeus) ngobrol-ngobrol bersama Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Rama Kertamukti (@kawanrama) di Live Instagram. Obrolan yang dibahas  sangat menarik yaitu membahas tentang bagaimana cara membentuk cultural brand dalam suatu daerah khususnya Bantul dengan tujuan untuk memperkenalkan Bantul masyarakat sekitar Bantul, bahkan sampai ke kancah global. Pada pembicaraan mereka, mereka membahas obrolan ini dari kacamata seorang kreatif designer.

Berawal dari mengapa di Provinsi Yogyakarta hanya Malioboro yang dikenal orang-orang luar sebagai icon pariwisata. Padahal daerah lain juga mempunyai keunggulan yang bisa diangkat menjadi sebuah potensi yang menjajnjikan. Kesannya seperti Bantul lebih pinggiran dari pada daerah lain. Dari latar belakang tersebut maka perlunya sebuah branding. Mengutip perkataan Pak Rama “ branding adalah suatu kumpulan inspirasi-inspirasi”. Dalam membentu sebuah brand cultural tentunya harus mengumpulkan inspirasi dari orang-orang kreatif, khususnya untuk  orang Bantul yang pasti banyak orang-orang yang paham seputar dunia kreatif dan itu harus bisa dimanfaatkan untuk membangun Bantul.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi Bantul mempunya potensi yang sangat bagus, seperti industrinya. Di Bantul sendiri banyak usaha dan industry seperti makanan, kerajinan, pertanian dan lain-laiin. Biasanya masyarakat Bantul sendiri memasarkan hasilnya untuk konsumen luar negeri atau turis asing. Semntara itu pemerintah harusnya bisa memanfaatkan dan menggarap itu untuk menjadikannya sebagai wisata.

Namun ada kendala yang dihapai untuk membranding Bantul. Menurut Yogie, salah satu kendala yang dihadapi adalah anak muda sekarang memikirkan uang terlebih dahulu untuk bergerak. Jika tidak uang mereka akan hilang dengan sendirinya. Tapi sebenarya hal itu bisa diatasi dengan mengajak local design yang seidealis, yaitu yang sama-sama bergerak demi membangun daerahnya sendiri. Namun, menurut Yogie susah untuk menemukan orang yang seidealis. Sebagai designer uang itu bukan utamma, karena jika sudah bergerak sudah memiliki portofolio uang akan dating dengan sendirirnya. Sepertinya local designer perlu disentil terlebih dahulu. Karea menrut Yogie salah satu yang menjadi hambatan juga adalah kurang ajakan.

Jika dilihat, Bantul dari segi logo saja sudah yang paling bagus. Selain itu, lokalitas yang di bantul, budaya yang masih dipegang di bantul juga masih banyak, maka itu sebenarnya itu daya jualnya tinggi. Ruang budaya pop yang banyak diminati oleh anak-anak sekarang. Maka budaya pop boleh dicampur dengan budaya lokal, dan tercipta budaya baru yang lebih kreatif dan itu akan lebih disukai oleh anak zaman sekarang, daripada mengkonsumsi barang dari luar, lebih baik menciptakan produk sendiri. Kuncinya sebenarnya adalah adanya good designer yang dapat meng-create suatu konten dengan menarik dan memanfaatkan media digital ini, ruang sudah ada.

Di zaman modern seperti saat ini media sebagi promosi sudah tersdia banyak dan gratis seperti Instagram, Facebook, dan Yotube. Selain mudah digunakan jangkauan dari media tersebut sangat luas bahkan bisa sampai luar negeri. Media online atau medsos merupakan media yang paling efektif. Dengan berbagi potensi yang dimiliki Bantul, dengan sentuhan sedikit dari seorang designer atau orang kreatif itu akan berdampak besar apalagi ditunjang dengan media yang ada saat ini. Ini akan menjadikan Bantul sebagi local brand.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal Riset Media Buying : Desa Wisata Nglaanggeran

Mengenal Komunikasi Profetik

Profil Konsumen Menengah