Mengenal Komunikasi Profetik
Komunikasi
profetik pada saat ini mulai muncul di dalam dunia akadamik khusunya di bidang
komunikasi. Istilah komunikasi profetik sendiri tergolong baru dalam khasanah
ilmu komunikasi. Komunikasi profetik ini biasanya dipelajari oleh universitas
yang berbasis ke Islaman. Maka dari itu, masih banyak orang yang belum mengenal
atau masih awam apa itu komunikasi profetik karena memang ilmu ini jarang
ditemui khususnya di universitas yang bukan pada basis Islam.
Kemudian
apa yang dimaksud profetik itu sendiri? Profetik sendiri berasal dari Bahasa
Inggirs yaitu prophet yang berarti Nabi. Profetik sendiri dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan dengan kenabian. Sehingga dapat
didefinisikan bahwa komunikasi profetik adalah komunikasi kenabian. Komunikasi
kenabian mempunyai konteks yang luas, tidak hanya sekedar mempelajari cara Nabi
berkomunikasi atau berdakwah, namun juga dengan mempelajari sifat-sifat, moral,
nilai-nilai, etika, sikap, dan perilaku
Nabi Muhammad SAW, serta yang paling penting adalah untuk meneladani tujuan
kenabian.
Munculnya
komunukasi profetik ini tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Kemunculan istilah
profetik dalam kajian ilmu sosil ini pertama kali dicetuskan oleh Kuntowijoyo.
Dalam hal ini Kuntowijoyo menerangkan hal tersebut dalam Ilmu Sosial Profetik.
Kuntowijoyo menganggap profetik sebagai paradigma dimana profetik merupakan
cara pandang yang mana kita melihat dari cara pandang kenabian. Hadirnya
paradigma profetik ini dilatar belakangi karena adanya
kesalahpahaman-kesalahpahaman atas pola pikir dan pemahan berbagai kelompok. Ada
beberapa kesalahpahaman yaitu Barat dengan Islam, Islam dengan Barat, Barat
dengan Barat, dan Islam dengan Islam. Kesalahpahaman Barat dengan dunia Islam
sering ditemui pada saat ini, dimana Barat menganggap Islam adalah agama yang
mengajarkan radikalisme, ajaran ekstrimis, hingga dianggap teroris. Padahal
Islam sendiri tidak diajarkan untuk menyakiti bahkan sampai membunuh sesame
manusia. Begitu juga dengan kesalahpahaman umat Islam kepada Barat. Masih
banyak umat Islam yang menganggap produk-produk buatan barat adalah haram dan
menganggap barat kapitalis. Padahal tidak semua produk barat demikian.
Kesalahpahaman pun juga tidak hanya terjadi pada Islam dan di luar Islam saja,
di dalam Islam sendiripun banyak terjadi kesalahpahaman. Di Indonesia sendiri
banyak sekali organisai atau aliran dalam Islam, tidak sedikit tiap kelompok
yang mempunyai pemahaman atau tafsiran yang berbeda-beda dalam menjalankan
syariat Islam. Bahkan hal ini menyebabkan konflik internal dalam Islam sendiri.
Dari kesalamahan pemahaman tersbut komunikasi profetik menawarkan solusi untuk
menjembatani antara nilai-nilai kenabian dengan fenomensa atau peristiwa yang
ada pada saat ini agar kesalahpahaman-keselahpahamn tersebut bisa diuraikan.
Sebenarnya
kontribusi Islam dalam kajian ilmu komunikasi sudah ada zaman Rasulullah, dimana
pada masa itu tulis menulis merupakan hal yang sudah biasa. Manusia pada zaman
dahulu mulai memikirkan bagaimana mendokumentasikan berbagai naskah penting
dalam bentuk cetakan yang ringan dan efektif. Naskah-naskah penting yang baik
itu di dunia para dunia Islam di Timur Tengah misalkan di Jawa ada yang
menggunakan Lontar, ada yang menggunakan pelepah tulang, batu, kulit hewan,
daun, ada yang menggunakan candi yang itu sebagai relief dan seterusnya itu
menceritakan sesuatu kemudian. Tulis menulis ini diawali oleh anak dari Nabi
Ibrahim yaitu Ismail, Ismail membuat aturan Bahasa dan alfabet Bahasa Arab.
Sehingga pada saat itu tradisi tulis menulis merupakan hal yang biasa. Namun
Rasulullah sendiri tidak diberi kemampuan membaca dan menulis agar wahyu yang
diterima tetap murni dan menghindari pemikiran bahwa Al-Quran dibuat oleh Muhammad
SAW. Dari tradisi tulis menulis dan mencetak tersebut menjadi kontribusi besar
dalam teknologi percetekan dan saat ini menjadi industri media.
Ilmu profetik hadir karena adanya dikotomisasi atau adanya dua hal yang saling
bertentangan. Hadirnya paradigma profetik ini untuk menengahi dua hal yang
saling bertentangan tersebut, dalam hal ini yang dimaksud bertentangan adalah
Ilmu Agama dan Ilmu Modern. Karena hal tersebut muncullah wacama
instegrasi-interkoneksi yang dicetuskan oleh Prof. Amin Abdullah sebagai alternatif
dalam upaya mempertemukan antara ilmu dan agama. Paradigma itu muncul untuk
memberi jawaban bagaimana problematika dan kemajuan zaman itu menengahkan apa
bisa menghubungkan antara relasi-relasi itu antara fenomena-fenomena itu yang
dapat kita katakan melalui komunikasi profetik. Pendekatan yang lebih dinamis
tentu mengusung paradigma integrasi-interkoneksi. Paradigma integrasi-interkoneksi
setidaknya mampu menyatukan atau melihat sudut pandang dari fenomena berbagai
macam perbedaan yang ada di dunia ini. Dengan paradigma itu tujuannya untuk
membebaskan belenggu manusia dari kebodohan dari kekejaman dari pengekangan
tujuannya untuk mengajak kita semua menuju ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Muncuk masalah polemik fanatisme pemikiran antara islam fundamental dan islam
liberal. Islam fundamemtal dianggap cenderung tekstual dalam menafsirkan sesuai
dengan quran dan sunnah, sedangkan islam fundamental dianggap cenderung ke ilmu
islam klasik dan dikombinasikan dengan Ilmu modern. Paradigma ini sebagai salah
satu alternatif yang ditawarkan oleh Profesor Amin Abdullah jadi jembatan antara
Islam yang fundamental dan liberal.
Komunikasi
profetik berangkat dari gagasan dari ilmu sosial profetik. Yang menggagas ilmu
sosial profetik adalah Kuntowijoyo, beliau adalah guru besar dari ilmu budaya
UGM, ia tokoh pemikir nasional sekaligus penulis nasional juga karya tulisnya
mewarnai Khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Kegelisahan Kuntowijoyo yang melahirkan gagasan
ilmu profetik itu yang pertama berangkat dari sebuah pertanyaan-pertanyaan
tentang apa yang sesungguhnya yang menjadi dasar dan sumber bagi ilmu
pengetahuan. Ini kemudian sampai pada empirisme yang digagas oleh Aristoteles
dan rasionalisme yang digagas oleh Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa
akal akan dapat melahirkan ilmu pengetahuan sedangkan Aristoteles berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan harus didapat dengan pengalaman terlebih dahulu. Perdebatan
antara empirisme kemudian antara rasio, ini sampai sekarang menjadi hazanah
pemikiran dalam berbagai macam perspektif yang memunculkan lahirnya ilmu
pengetahuan. Pada empirisme ilmu pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman,
pengalaman yang memberi inspirasi bagi lahir dan berkembangnya ilmu
pengetahuan, sedangkan rasionalisme menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan
diperoleh dari sebuah pemikiran, pemikiran yang memberi inspirasi bagi lahir
dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Kemudian
Kuntowijoyo memberikan alternatif atau jalan tengah atau tawaran pendekatan
baru yaitu menghadirkan konsep Wahyu.
Dapat dijadikan salah satu sumber bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Alasannya karena wahyu itu mengandung banyak ilmu pengetahuan, bahkan ayat suci
Alquran sebagai salah satu bentuk Wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam menegaskan agar manusia tidak mengikuti sesuatu
yang tidak memiliki ilmu pengetahuan didalamnya. Kuntowijoyo menggunakan Wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan akan melahirkan bentuk keilmuan baru yang
disebut sebagai ilmu sosial profetik. Kata profetik dalam Ilmu Sosial Profetik
menurut Kuntowijoyo secara teologis mengacu pada peristiwa isra mi’raj. Peran
kenabian dari Nabi Muhammad SAW, tidak tergoda dengan manisnya pertemuan dengan
Allah SWT. Hal ini dibuktikan dengan kembalinya beliau ke tengah-tengah
komunitas manusia untuk menyerukan kebenaran dan transformasi transenden. Dari
semangat isra mi’raj lah yang mengawali gagasan ilmu sosial profetik tersebut. Menurut
kuntowijoyo ada tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi,
liberasi dan transendensi. Humanisasi dimaksud dengan memanusiakan manusia
yang ditandai dengan industrialisasi manusia. Librasi dapat diartikan
pembebasan, bebas dari belenggu kebodohan, liberasi ini hanya digunakan untuk
kepentingan ilmu saja. Terakhir adalah transendental yaitu membersihkan diri yang menjadi fitrah
manusia yaitu dekat dengan Tuhannya. Sehingga dapat dikaitkan bawha Humanisasi
dan Librasi harus dibarengi dengan sisi Transedental, yang outputnya adalah
kedekatan kita sebagai makhluk kepada Tuhan.
Kuntowijoyo menggunakan surat Ali-Imran ayat 110 sebagai sumber yang dapat mengoperasionalkan gagasannya tentang Ilmu Sosial Profetik. Ayat ini menunjukan dua hal sekaligus, yang pertama penegasan wahyu dapat dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu filsuf/filsafat, ilmu yang berasal dari pemikiran rasional/akal, atau ilmu empirisme yang diperdebatkan oleh Plato dan Aristoteles. Yang kedua selain empirisme dan rasionalisme yang diakui sebagai sumber ilmu pengetahuan, wahyu juga dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sealain itu Kuntowijoyo menilai terdapat sejumlah tema atau termafilosofis yaitu yang pertama masyarakat utama (Khairu Ummah), yang kedua terdapat kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), kemudian ada liberasi (amarma’ruf), kemudian ada emansipasi memanusiakan manusia (nahi mungkar), dan transedensi (al imam billah) yaitu mengajak bertakwa kepada Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar